Mengenal istilah Verstek dan Verzet dalam Perceraian




Berikut diantara sebab - sebab sang istri boleh mengajukan perceraian ( Khulu') ke Pengadilan Agama;


Sang istri sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.


Jika data yang Anda sampaikan benar, insya Allah sang istri itu berhak melakukan gugat cerai. Terutama karena sang suami tidak mau shalat. Dia bisa melaporkan ke PA (Pengadilan Agama) untuk menyampaikan semua aduhannya. Jika pihak PA menyetujui, maka sang istri bisa lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya yang pertama.


Dari contoh di atas bisa disimpulkan bahwa poligami TIDAK termasuk sebab syar'i istri boleh meminta cerai. Karena Poligami bagian yang disahkan oleh Al Qur'an dalam pernikahan. Kecuali ada efek setelah poligami yang memunculkan Pelanggaran yang dilakukan suami sehingga istri pertama dirugikan.


Misalnya setelah poligami sang suami jadi menelantarkan istri pertama dari nafkah lahir dan batin. Jika tidak menelantarkan dan baik baik saja, maka tidak ada alasan bagi seorang istri untuk meminta cerai. 


Jika sang istri tetap meminta cerai dan suaminya tetap shaleh dikhawatirkan istri tidak dapat mencium bau nya surga.


Tapi ada satu celah yang bisa ditempuh oleh seorang istri untuk Khul'u (melepas dirinya dari status pernikahan bersama suaminya). Yaitu saat setelah suaminya menikah lagi dia merasa dingin, tidak ada rasa cinta lagi, Enggan melayani dengan baik. Sehingga dia khawatir tidak bisa memenuhi kewajiban nya sebagai seorang istri. 


Dalam kondisi ini, istri boleh menuntut khulu’ dengan membayar kompensasi tertentu. Dalilnya dari ayat Al Qur’an,


فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ


“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” 

(QS. Al Baqarah: 229).


Juga berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas berikut.


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِى دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ ، إِلاَّ أَنِّى أَخَافُ الْكُفْرَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ » . فَقَالَتْ نَعَمْ . فَرَدَّتْ عَلَيْهِ ، وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا


Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma: 

Ia berkata bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah menjelekkan agama dan akhlak Tsabit. Namun aku cuma khawatir jadi kufur.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu kembalikanlah kebun miliknya.” Istrinya menjawab, “Iya kalau begitu.” Istrinya pun mengembalikan kebun tersebut pada Tsabit. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintah pada Tsabit, akhirnya mereka berdua berpisah. 


(HR. Bukhari no. 5276).


Di sini terdapat kebutuhan istri yang ingin berpisah. Islam memberikan solusi demikian dengan adanya kompensasi. Yaitu Khulu' . Yang mana Untuk saat ini, permasalahan khulu’ sudah ada jalurnya di Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama. Besaran kompensasi tersebut akan ditentukan lewat pengadilan.


Khulu’ di sini dibolehkan agar tidak memudaratkan istri yang kala itu mendapatkan mudarat jika pernikahan terus berlangsung. Sebenarnya dari pihak suami pun mendapatkan keselamatan karena terlepas dari mudarat istri. Karena bisa jadi ketika suami memutuskan talak, istri bersikeras tak mau atau tak ridha. Namun dengan khulu’ akhirnya ada keridhaan.


Namun jika suami masih punya rasa cinta pada istri, dalam kondisi semacam ini, melanjutkan pernikahan itu lebih baik.


Artinya sang suami pun masih memiliki celah untuk mempertahkan pernikahan nya dengan sang istri yaitu dengan Ridha dan sabar kepada istri pertama nya saat sang istri hanya bisa melayani sekedarnya dan sesuai dengan kemampuan nya. Dengan catatan sang suami tetap full memenuhi tanggung jawabnya dalam memenuhi kebutuhan lahir dan batin.


Maka agar pernikahan bisa dipertahankan sang suami harus terus hadir dalam persidangan agar mediasi bisa berjalan dengan baik antara kedua belah pihak sehingga bisa mendapatkan win win solution bagi kedua belah pihak. 


Karena jika suami sudah tidak hadir dan tidak bersikap kooperatif maka pengadilan agama akan menempuh jalan Verstek.


Verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tanpa hadirnya Tergugat atau juga tidak mewakilkan kepada kuasanya dan tanpa adanya alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut.


Jika putusan verstek dijatuhkan dan tergugat (suami) merasa tidak terima, langkah hukum yang dapat dilakukan adalah mengajukan upaya verzet atau perlawanan terhadap verstek tersebut. 


Kemudian, apabila tergugat (suami) tidak melakukan verzet, putusan verstek dianggap berkekuatan hukum tetap dan akta cerai dapat diterbitkan. Karena sang suami sudah di berikan kesempatan untuk Verzet selama jeda waktu 30 Hari akan tetapi tidak ditempuh dengan baik. Dan itu sebagai bukti bahwa sang suami benar benar menghendaki perceraian. 


Pasal 84 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, panitera berkewajiban selambat-lambatnya 30 hari mengirimkan satu helai salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tanpa bermaterai, dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.


___

Ust. Khudori, S.H.I

Mudir Pesantren Inklusi Griya Sunnah Cileungsi Bogor.

Layanan Penasehat Hukum 
wa.me/6281317002011
Kantor kuasa hukum DRDR
Jalan Barangnangsiang III Blok I No. 7, Tegallega, Bogor Tengah, Kota Bogor
Jawa Barat, Indonesia 16129


0 Komentar